Nama : Muhammad zawawi zulfitra
NPM : ********
Mata Kuliah : Sosiologi
MENYIKAPI PESTA HOAX 2019
Meningkatnya perkembangan pengguna
internet di Indonesia memiliki dampak positif antara lain semakin meningkatnya
pertumbuhan e-commerce di Indonesia. Namun, di saat yang sama, pertumbuhan
pengguna yang massif ini membuka ruang lebih luas untuk meningkatnya
radikalisme digital, jejaring teroris online, berita palsu, ujaran kebencian
dan cyberbullying. Hal
itu terlihat dengan begitu banyaknya informasi hoaks. Berita-berita hoax yang
menyesatkan beredar lewat berbagai jalur digital, termasuk situs media online,
blog, website, media sosial, email, dan aplikasi pesan instan.
Terlebih lagi,mendekati tahun 2019,
Banyak yang menyebutkan bahwa 2019 adalah tahun politik. Pada tahun tersebut
akan berlangsung pesta demokrasi, pemilihan presiden (pilpres) dan pemilihan
anggota legislatif (pileg) secara serentak. Tahun di mana partai politik
(parpol) terlihat memerah hingga membiru, lalu menguning, dan dipanen usai
pemilu. Tahun politik berarti tahun yang penuh siasat. Boleh jadi merencanakan
untuk membangun, merubuhkan, menendang, ataupun melenyapkan. Dan
parahnya para pelaku hoax itu dilakukan oleh para pemimpin negeri, ingkar janji
para pemimpin negeri yang digaungkan pada masa kampanye adalah hoax yang paling
mematikan. Seperti yang kerap disebutkan bahwa selama kampanye, angin terisi
penuh dengan pidato-pidato. Dan sebaliknya, pidato hanya berisi angin.
Kesejahteraan rakyat adalah angin pamungkas yang kerap dihembuskan. Maka tidak
perlu heran, jika pada saat kampanye mereka berjanji akan membangun jembatan,
bahkan di tempat yang tidak ada sungainya. Lalu rakyat mendapati kenyataan,
bahwa janji-janji vital yang digaungkan hanya untuk meninabobokan. Seperti yang
dikatakan oleh Charles de Gaulle (1890-1970), seorang negarawan dari Prancis,
“Politisi sebenarnya tidak pernah percaya atas ucapannya sendiri. Mereka justru
terkejut bila rakyat mempercayainya.”
Dengan
mengandalkan kekuatan media, para pelaku
hoax memberikan tawaran menggiurkan bagi sebuah media yakni dari segi unsur kepentingan dan
kapitalisme. Sehingga terjadilah sebuah keberpihakan yang mudah sekali untuk
dilihat namun tidak dengan kebenarannya. Media berlomba-lomba mendukung dan
menjatuhkan masing-masing pasangan calon (paslon). Framing (pembingkaian) dan
agenda setting pun dimainkan. Jika sejalan, maka paslon yang didukung
digambarkan seolah sosok malaikat yang telah berkontribusi banyak bagi negeri.
Sebaliknya, lawannya seolah sosok jahat. Tak elok dipilih sebagai wakil rakyat.
Di
tengah gempuran informasi dari berbagai media, memilah mana yang benar dan
salah tidaklah semudah menatap layar kaca. Satu berita telah melewati berbagai
framing, agenda setting, dan berbagai kepentingan sebelum dilepas ke publik.
Lalu karena berita yang belum pasti kebenarannya, rakyat bertikai dengan
sesama.
Jika
begini keadaannya, maka cita-cita pemerintah untuk membasmi hoax di Indonesia
hanyalah khayalan belaka, jika Pemerintah sendiri belum selesai dengan hoax
yang dibangunnya sendiri. Kita tidak bisa membangun negeri dengan politik hoax,
apalagi bercita-cita membangun generasi. Indonesia tidak akan maju jika harapan
sejahtera hanya menggema menjelang pemilu. Setelahnya, janji sejahtera seolah
dongeng belaka. Seperti yang pernah disampaikan oleh Imam Syafi’i bahwa manusia
dipegang pada janjinya, sedangkan hewan dipegang pada talinya. Jika manusia
tidak lagi bisa dipegang janjinya, maka beri ia tali.
Selain
di media cetak dan televisi, menjelang Pilpres 2019, perang cyber juga sangat gencar
terjadi. Di media sosial, berita hoax muncul seperti rentetan peluru. Tajam dan
menusuk. Ada sanjung-puja, juga caci-hina. Propaganda diluncurkan. Rakyat
seperti menonton pertunjukan. Adegan penuh drama disuguhkan. Ada yang bikin
mual, ada juga yang memabukkan. Pun demikian, rakyat terpaksa menonton
pertunjukan tersebut hingga selesai. Hingga kemudian mendapati kenyataan bahwa
ada orang-orang di balik layar yang meraup keuntungan miliaran rupiah dari
sebuah kebohongan.
Padahal
sejatinya Media sosial semestinya dimanfaatkan untuk bersosialisasi dan
berinteraksi dengan menyebarkan konten-konten positif. Sayangnya, saat ini
berita hoax sudah dibuat sedemikian rupa menyerupai berita asli, beberapa pihak
memanfaatkannya untuk menyebarkan informasi yang mengandung konten negatif.,
dilengkapi dengan data-data yang seolah-olah itu adalah fakta.
Jika hal
tersebut dibiarkan, dikhawatirkan akan membahayakan generasi muda. Menyikapi
hal tersebut, maka generasi muda Indonesia harus mempunyai kecerdesaan literasi
digital yang tinggi. Dengan cara itulah anak-anak muda tidak gampang dipengaruhi
oleh berita-berita hoax yang dapat melunturkan persatuan dan kesatuan bangsa. Dan tidak hanya
dari pihak internal dari setiap individu, peran dari pihak eksternal juga
sangat berpengaruh dalam membentuk generasi muda dengan literasi digital tinggi
yang dalam hal ini keluarga berperan sebagai garda terdepan dalam mencegah hoax, begitu juga dengan pemuka masyarakat
dan pemuka agama,mereka juga berperan aktif dalam membentuk generasi muda yang mempunyai literasi digital
tinggi. Kemudian disusul oleh lembaga pendidikan dan pemerintahan dalam proses
nya.
Namun
semuanya kembali lagi ke diri sendiri, tetaplah bijak ketika menggunakan
internet. Jangan mudah percaya terhadap semua berita atau kabar yang dibaca.
Periksa kembali kebenaran suatu berita dengan membandingkannya dari sumber
lain, dan jangan sebarkan ulang apabila dirasa berita itu tidak benar. Segera
lapor jika menemukan berita hoax agar dapat ditindaklanjuti. Anggaplah internet
itu sama dengan dunia nyata yang mana ada etika-etika kebaikan yang harus
dipatuhi.
Komentar
Posting Komentar